Sejarah Candi Borobudur
1. Lokasi
Candi Borobudur terletak di desa Borobudur, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan dikelilingi beberapa dusun antara lain Bumi Segoro, Sabreng, Gopala, Jawahan, Barepan, Ngarak, Kelan, Janan dan Gendingan
.
Pada zaman dahulu Pulau Jawa terapung-apung ditengah lautan oleh karenanya harus dipaku pada pusat bumi agar dapat dihuni manusia. Paku yang besar itu kini menjadi sebuah gunung yang terletak di kota Magelang, yaitu gunung Tidar. Di sebelah selatan gunung Tidar kira-kira jarak 15 km terdapat Candi Borobudur. Candi Borobudur yang terleta didaratan Kedu hampir seluruhnya dikelilingi pegunungan. Disebelah timur terdapat gunung Merapi dan gunung Merbabu. Pada gunung Merapi itu setiap dua atau tiga tahun terdengar letusan-letusan yang menandakan masih aktif dalam kegiatannya. Sisi barat laut terdapat gunung Sumbing dan Sindoro. Juga disebelah selatan yang membujur dari timur ke barat terdapat pegunungan Menoreh. Oleh karena puncak-puncak pegunungan ini banyak yang runcing bagai menara maka pegunungan ini dinamakan menoreh. Dilihat dari Candi Borobudur puncak-puncak pegunungan Menoreh serupa dengan seorang yang sedang terlentang di atas pegunungan tersebut. Karena itulah ada cerita rakyat yang menjelaskan bahwa bagian dari puncak gunung yang serupa dengan orang tidur itu adalah Gunadharma, yaitu ahli bangunan yang berhasil membuat Candi Borobudur.
Dataran Kedu dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Progo dan Sungai Elo yang akhirnya menyatu menjadi sungai Progo dan mengalir ke selatan menuju Samudra Indonesia. ( Dr. Soekmono, Pustaka Jaya 1981, hal 11 dan 12 )
2. Arti Nama
Bangunan-bangunan kuno yang berasal dari jaman purba Sejarah Indonesia ( permulaan tarikh Masehi sampai akhir abad ke-15 ) biasanya disebut candi. Sebagian besar dari candi-candi itu tidak diketahui nama aslinya. Candi-candi memang harus diketemukan terlebih dahulu, sebelum dimasukan ke dalam khasanah pusaka budaya kita. Juga banyak candi yang diberi nama sama seperti desa dimana candi itu berada. Tetapi ada juga desa yang diberi nama menurut candinya. Hanya satu dua candi sajalah yang masih tetap menyimpan nama aslinya. Candi Borobudur sendiri sulitlah ditentukan apakah nama Borobudur mengambil dari nama desa ataukah nama desa yang mengambil nama dari candi tersebut.
Dari babad ( kitab sejarah Jawa ) dari abad ke-18 tersebut "BUKIT BOROBUDUR", sedang keterangan yang disampaikan kepada Raffles ( Letnan Gubernur Jenderal Inggris ) dalam tahun 1814 di desa Bumi Segoro menyatakan adanya sebuah penemuan-penemuan purbakala bernama " BOROBUDUR". Dengan penemuan itu maka dapat disimpulkan bahwa nama Borobudur adalah nama asli dari bangunan candinya. Walaupun demikian perlu dicatat bahwa tidak ada sesuatu keterangan baik prasasti maupun dokumen lain yang mengungkapkan nama candi Borobudur yang sesungguhnya.
Naskah dari tahun 1365 M, yaitu kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca juga menyebutkan kata atau nama Budur untuk sebuah bangunan agama Budha aliran WAJRADHA.
Kemungkinan yang ada "Budur" tersebut tidak lain adalah Candi Borobudur. Karena tidak adanya keterangan yang lain kiranya tidak bisa diambil suatu kepastian.
Penafsiran Borobudur telah pula dilakukan oleh Raffles berdasarkan keterangan yang ia kumpulan dari masyarakat luas. Budur merupakan bentuk lain dari Budo yang dalam bahasa Jawa berarti kuno. Tetapi bila dikaitkan dengan Borobudur berarti Boro jaman kuno, jelas tidak mengandung suatu pengertian yang dapat dikaitkan dengan candi Borobudur. Maka Raffles menampilkan keterangan yang lain yakni Boro berarti Agung dan Budur disamakan dengan Budha. Maka dengan demikian Borobudur berarti sang Budha Yang Agung. Namun karena Bhara dalam bahasa Jawa kuno dapat diartikan banyak, maka Borobudur dapat pula berarti Budha yang banyak. Jika dikaji dengan teliti maka keterangan yang dikemukakan oleh Raffles memang tidak ada yang memuaskan " Boro jaman kuno " kurang mengena, " Sang Budha Yang Agung" maupun " Budha Yang Banyak " kurang mencapai sasaran. Perubahan kata " BUDHA" menjadi " BUDUR" misalnya, perubahan demikian dapat diterangkan dari segi ilmu bahasa. Karena sukar diterima. Inilah sebabnya maka banyak usaha lain untuk memberi tafsiran pada Candi Borobudur dengan tepat.
Bapak Poerbatjaraka ( almarhum ) menafsirkan dengan sangat masuk akal. Menurut beliau perkataan Boro itu Biara, dengan demikian maka Borobudur berarti Biara Budur. Keterangan Poerbatjaraka ini memang sangat menarik. Penyeledikian dan penggalian yang dilakukan tahun 1952 di halaman sebelah barat laut bangunan Candi Borobudur telah berhasil menemukan fondasi batu bata dan genta perunggu berukuran besar. Penemuan fondasi batu bata dan Genta ini memperkuat dugaan dari sisa-sisa sebuah Biara, dibuhungkan dengan kenyataan yang ada pada kitab Negara Kertagama mengenai nama"Budur" maka besar kemungkinan tafsiran Poerbatjaraka tepat. Namun demikian masih merupakan suatu pertanyaan mengapa Biara dalam hal penamaan tafsiran Poetbatjaraka tepat. Namun demikian masih merupakan suatau pertanyaan mengapa Biara dalam hal penamaan menggantikan candinya, padahal candi lebih penting daripada biaranya.
De Casparis berhasil menemukan kata majemuk dalam prasasti yang kemungkinan merupakan asal perkataan "Borobudur". Prasasti yang berangka tahun 842 M dijumpai perkataan Bhumi Sambhara Budhura sebutan untuk bangunan suci pemujaan nenek moyang. Penelitian yang mendalam tentang keagamaan yang terungkap dalam prasasti dan juga rekrontruksi yang sangat teliti terhadap geografi daerah terjadinya peristiwa sejarah yang bertahan dengan prasasti tersebut maka De Casparis menyimpulkan bahwa Bhumi Sambhara Budhura tidak lain adalah Borobudur. Perubahan kata Bhumi Sambhara menjadi Borobudur dapat diterangkan akibat gejala umum dalam bahasa sehari -hari untuk menyingkat atau menyederhanakan ucapan. Sampai sekarang banyak sarjana yang keberatan terhadap tafsiran De Casparis itu. Tapi harus diakui bahwa sampai sekrang belum ada keterangan atau tafsiran yang tepat mengenai nama Borobudur. ( Dr. Soekmono, Pustaka Jaya 1981, hal. 39, 40, 41 ).
Drs. Soedirman dalam bukunya Borobudur salah satu keajaiban dunia menjelaskan mengenai arti nama Borobudur sampai sekrang belum jelas. Namun juga dituliskan bahwa nama Borobudur berasal dari gabungan kata Bara dan Budur. Bara berasal dari kata Sanskerta Vihara yang berarti kompleks candi dan Bihara atau asrama. ( Poerbatjaraka dan Stutterheim ). Budur dalam bahasa Bali Beduhur yang berarti diatas.
Jadi nama Borobudur berarti asrama / Vihara atau kelompok candi yang terletak di atas tanah / bukit. ( Drs. Soedirman, Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia 1980, hal 8 ). Candi Borobudur tidak hanya diperindah dengan relief - relief dan ukiran ukiran hias tetapi juga dapat dibanggakan karena patung-patungnya yang sangat tinggi mutu seninya. Patung-patung itu semua menggambarkan Dhyani Budha terdapat pada bagian Rupadhatu dan Arupadhatu. Patung-patung Budha di Rupadhatu ditempatkan dalam relung yang tersusun berjajar pada sisi luar pagar langkan sesuai dengan kenyataan bahwa tingkatan-tingkatan bangunan semakin tinggi letaknya semakin kecil ukurannya.
- Langkan pertama : 104 patung Budha
- Langkan kedua : 104 patung Budha
- Langkan ketiga : 88 patung Budha
- Langkan keempat : 72 patung Budha
- Langkan kelima : 64 patung Budha
- Teras bundar pertama : 32 patung Budha
- Teras bundar kedua : 24 patung Budha
- Teras bundar ketiga : 16 patung Budha
- Jumlah seluruhnya : 504 patung Budha
Sekilas patung-patung Budha itu nampak serupa semuanya, tapi sesungguhnya ada juga perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas ialah sikap tangannya yang disebut Mudra yang merupakan ciri khas untuk sertiap patung.
Sikap tangan atau Mudra candi Borobudur ada 6 macam.
Hanya saja oleh karena kedua macam Mudra yang dimiliki oleh patung yang menghadap semua arah baik di bagian Rupadhatu ( langkan tingkat 5 ) maupun dibagian Arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud - maksud yang sama. Maka jumlah Mudra yang pokok ada 5, yaitu :
1. Bhumispara Mudr:
Sikap tangan ini melambungkan saat Sang Budha memanggil Dewi Bumi sebagai saksi ketika ia menangkis semua serangan iblis Mara.
2. Wara Mudra :
Sikap tangan ini melambungkan perihal amal, memberi anugrah atau berkah. Mudra ini adalah khas bagi Dhyani Budha Ratna Sambawa. Patung-patungnya menghadap ke selatan.
3. Dyana Mudra :
Sikap tangan ini melambangkan sedang semedi atau mengheningkan cipta. Mudra ini merupakan tanda khusus Dhyani Budha Amithaba. Patung-patungnya menghadap ke barat.
4. Abhaya Mudra :
Sikap tangan ini melambangkan sedang menenangkan. Mudra ini merupakan tanda khusus Dhyani Budha Amoghasdi, patung - patungnya menghadap ke utara.
5. Dharma Cakra Mudra :
Sikap tangan ini melambangkan gerak memutar rodha dharma. Mudra ini menjadi ciri khas Dhyani Budha Wairocana daerah kekuasaannya terletak di pusat. Khusus di candi Borobudur Wairocana ini digambarkan juga dengan sikap tangan yang disebut Witarka Mudra.
( Dr. Soekmono, Candi Borobudur, Pustaka Jaya, 1981, hal 80, 82, 83 ).
3. Htisar Sejarah
Waktu didirikan :
Sampai sekarang belum pernah ditemukan sumber-sumber tertulis yang menyebutkan bilamana candi Borobudur itu dibangun sehingga secara pasti tidak dapat ditentukan usianya. Beberapa bukti telah dikemukakan oleh para ahli untuk menentukan usia dari bangunan Borobudur itu. Pada bagian kaki candi Borobudur yang tertutup terdapat tulisan singkat berbahasa sansekerta dengan huruf Kawi. Dengan membandingkan bentuk huruf - huruf tersebut dengan prasasti - prasasti bertarikh yang ada di Indonesia, maka sementara sarjana berpendapat bahwa candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Pada abad itu di Jawa Tengah berkuasa raja dari Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha Mahayana sehingga dapatlah dikatakan bahwa Borobudur bersifat agama Budha Mahayana itu ada hubungannya dengan Wangsa Syailendra.
(Drs. Soedirman, Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, 1980, hal 1 )
Uraian Bentuk Bangunan :
Candi Borobudur tidak mempunyai bilik ataupun ruangan didalamnya oleh karena itu tidak dapat berfungsi sepenuhnya sebagai candi. Maka lebih tepatnya kiranya kalau bangunan itu kita anggap sebagai bangunan zairah dan bukan sebagai tempat pemujaan.
Sesungguhnya adanya jenjang - jenjang dan lorong dimasudkan sebagai pengantar serta pemandu para peziarah untu menuju ke puncak melalui jalan keliling dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
Perjalanan setingkat demi setingkat sesuai benar dengan aliran Budha yang memang sangat mementingkan adanya tingkatan - tingkatan dalam persiapan mental para penganutnya yang setia. Melalui tingkatan - tingkatan itulah tujuan akhir perjalanan manusia dapat tercapai. Yaitu terlepasnya secara mutlak dari segi ikatan duniawi dan dapat bebas secara mutlak dari kelahiran kembali.
Adapun tingkatan itu pada dasarnya dapat pula diterapkan pembagian alam semesta menjadi tiga dunia :
Dunia paling bawah
Kamadhatu ( Dunia hasrat ) : Dalam tingkatan ini manusia masih terikat pada hasrat bahkan dikuasai oleh hasrat. Relif ini terdapat pada kaki candi bangunan asli.
Dunia yang lebih tinggi
Rupadhatu ( Dunia rupa ) : Manusia telah meninggalkan segala hasratnya, tetapi masih terikat pada nama dan rupa. Bagian ini terdapat pada langkan 1 sampai 5.
Dunia yang tertinggi
Arupadhatu ( Dunia tanpa rupa ) : Dalam tingkatan ini sudah tidak ada sama sekali nama ataupun rupa. Manusia telah bebas sama sekali dan telah memutuskan untuk selama - lamanya segala ikatan kepada dunia fana.
(Dr. Soekmono, Candi Borobudur, Pustaka Jaya, 1981, hal 47 ).
Bangunan candi Borobudur berbentuk limas berundak dan apabila dilihat dari atas merupakan bujursangkar. Bangunan candi ada 10 tingkat. Tiga tingkat yang paling atas berbentuk lingkaran dengan tiga teras.
Teras pertama terdapat : 32 stupa berlubang
Teras kedua terdapat : 24 stupa berlubang
Teras ketiga terdapat : 16 stupa berlubang
Jumlah seluruhnya : 72 stupa berlubang
Masing-maisng stupa terdapat patung Budha.
Ditengah-tengah stupa tersebut terdapat stupa induk yang merupakan mahkota dari bangunan candi Borobudur. Stupa induk bergaris tengah 9,90 meter. Tinggi sampai bagian bawah pinakel 7 meter. Drs. Soediman dalam bukunya Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia hal. 36 menulis bahwa diatas puncak pinakelnya dahulu diberi payung ( cattra ) bertingkat tiga ( sekarang tidak terdapat lagi ). Stupa induk ini tertutup rapat, sehingga orang tidak dapat melihat di dalamnya. Didalamnya terdapat kamar ( ruangan ) yang sekarang tidak berisi. Ada yang mengatakan bahwa ruangan itu untuk tempat menyimpan arca atau relief, tetapi pendapat itu masih diragukan kebenarannya. Karena sewaktu diadakan penyelidikan mengenai isi dari stupa induk oleh Residen Kedu Hartmann dalam tahun 1842 sama sekali tidak dibuatkan laporan tertulis, sehingga semua pendapat mengenai isi stupa induk itu hanyalah dugaan belaka.
Lebar dan panjang candi Borobudur : 123 m
Keliling candi Borobudur : 492 m
Tinggi sekarang : 34,5 m
Batu andesit yang digunakan untuk bangunan candi sebanyak 55.000 m
4. Usaha Penyelamatan Candi Borobudur
- Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 M.
- Tahun 1814 Borobudur dikenal kembali berkat usaha Sir Thomas Stamford Raffles.
- Tahun 1834 Residen Kedu memerintahkan untuk melakukan pembersihan disekitar candi sehingga tampak bangunan candi seluruhnya.
- Tahun 1850 dilakukan usaha memindahkan relief-relief Borobudur keatas kertas gambar.
- Tahun 1873 diterbitkan monografi pertama tentang Borobudur.
- Tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh bangunan dan memindahkan relief-relief ke suatu musium
- Tahun 1885 YZERMAN melakukan penyelidikan, ia mendapatkan dibelakang batu kaki candi terdapat relief.
- Tahun 1889 dibentuk panitia khusus merencanakan penyelamatan candi.
- Tahun 1905 pemerintah Belanda menyetujui usul panitia dengan menyediakan biaya PL.48.800 dengan dilaksanakan Van Erp.
- Tahun 1907 bulan Agustus Van Erp melakukan penggalian.
- Tahun 1908 usul Van Erp disetujui untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan lebih besar dari rencana semula.
- Tahun 1910 ditemukan terjadi keretakan baru pada bagian candi.
- Tahun 1911 pekerjaan Van Erp selesai, br kembali utuh.
- Tahun 1926 diketahui pengrusakan yang disengaja dari wisatawan asing yang ingin memiliki bagian dari bangunan candi sebagai cinderamata.
- Tahun 1929 dibentuk panitia khusus untuk meneliti sebab kerusakan bangunan.
- Tahun 1946 ditengah gejolak revolusi fisik 2 orang ahli purbakala dari india diundang untuk menelaah kerusakan candi br.
- Tahun 1960 diadakan usaha-usaha permulaan penyelamatan candi br.
- Tahun 1963 catur tunggal dan pejabat kabupaten Magelang mengadakan peninjauan khusus ke candi br.
- Tahun 1963 terbit keputusan penyediaan biaya Rp. 38.000.000,00.
- Tahun 1964 mendapat anggaran tambahan Rp. 50.000.000,00
Daftar Pustaka :
Buku ( Unit Taman Wisata Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar